Resensi Buku: “The Count of Monte Cristo”

There is neither happiness nor misery in the world; there is only the comparison of one state with another—nothing more.

-Edmond Dantes

Pada tahun 1814, Napoleon Bonaparte yang ketika itu tengah menguasai Perancis, harus tunduk pada kekuatan sekutu (Austria, Inggris, Prussia, dan Russia). Dia dilengserkan dan diasingkan ke Pulau Elba. Namun setahun kemudian dia kembali ke Perancis dan berhasil merebut tahtanya walaupun hanya selama 100 hari. Setelah itu, monarki yang dipimpin oleh Raja Louis XVIII.

Jpeg

Sejarah tersebut berlangsung ketika seorang pelayar bernama Edmond Dantes, pulang ke Marseille menggantikan kapten kapalnya yang meninggal di perjalanan. Di Marseille dia digadang sebagai calon kuat kapten selanjutnya oleh si empunya kapal. Selain itu juga dia akan segera menikah dengan wanita kesayangannya, Mercedes. Edmond Dantes berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah. Pencalonan dirinya menjadi kapten sesaat sebelum menikah kontan membuat dirinya bahagia. Taraf hidupnya bisa jauh lebih sejahtera dibanding yang sekarang.

Akan tetapi, salah seorang awak kapalnya, Danglars, tidak menyukai hal ini. Menurutnya dialah yang pantas menjadi kapten Pharaon (nama kapal tersebut). Dia menemui seorang pemuda lain bernama Fernand, yang dia ketahui cemburu terhadap Edmond karena dirinya akan menikahi Mercedes pujaan hatinya. Dari sinilah dimulai sebuah plot untuk menjatuhkan Edmond sehingga merubah hidupnya 180 derajat.

Sistem yang korup, pengkhianatan, dan balas dendam sepertinya merupakan motif ditulisnya buku ini. Bahwa dengan kekayaan melimpah, orang bisa melakukan apa yang dia mau dengan segala kemudahan dan relasi yang dimilikinya. Akan tetapi dibalik itu semua, ada sebuah pesan moral yang ingin disampaikan oleh Alexandre Dumas, bahwa seringkali dunia memang tidak seperti yang kita harapkan. Bahwa kita harus mengorbankan banyak hal sebelum bisa meraih apa yang kita inginkan. Dan bahwa setiap keputusan di masa lalu akan menimbulkan konsekuensi pada waktunya.

The Count of Monte Cristo sangat menghibur dengan pengembangan plot silih berganti antara cepat dan lambat. Alur memang berpusat pada Edmond Dantes namun tokoh-tokoh di sekitarnya juga memiliki peran dan kisah yang signifikan, menggambarkan kompleksitas yang terjadi pada tatanan masyarakat Paris kelas atas. Pada pertengahan novel ini kita akan dibuat berpikir, ternyata menjadi mastermind itu tidak mudah karena setiap orang punya kepentingan dan rencananya masing-masing.

Adanya beberapa statement deus-ex machina tidak mengurangi ketertarikan saya terhadap karya klasik ini. Walaupu ada beberapa bagian yang predictable, namun saya tetap menikmati membacanya dan semakin penasaran untuk membuka halaman berikutnya. Selain itu, kekurangan Alexandre Dumas memang dalam hal kronologi, tapi saya pun sejujurnya tidak menemukan hal itu terlalu mengganggu karena tidak paham betul sejarah Perancis.

Membaca novel klasik dalam bahasa asing bagi saya memang memerlukan konsentrasi ekstra. Kendala bahasa yang tidak familiar mewajibkan saya untuk sedia kamus setiap membacanya. Terutama di awal-awal. Tapi lama-kelamaan akan terbiasa juga karena bahasa tersebut akan sering digunakan nantinya.

ISBN                      : 978-1-4472-9064-3

Tahun Terbit      : 1846 (Woodsorth Classics 2002)

Penerbit              : Wordsworth Classics

Penulis                 : Alexandre Dumas

Genre                   : Fiksi

Tebal                     : 894 halaman (paperback)

Pembatas buku : Tidak ada

Estimasi waktu

membaca            : 20 jam

Rating                   : 8/10

Resensi Buku: “Cantik Itu Luka”

Halimunda. Nama sebuah desa di tatar Sunda. Di Halimunda ini, tinggal seorang wanita paruh baya cantik yang sedang hamil tua. Tiga putri yang telah dimilikinya, semuanya cantik jelita. Banyak dikejar laki-laki di dalam dan luar Halimunda. Namun sang wanita hamil itu bosan memiliki anak-anak yang cantik. Ia berkeinginan keras agar anak ke empat yang tengah dikandungnya ini lahir menjadi perempuan buruk rupa. Keinginan wanita itu terwujud. Lahirlah seorang anak perempuan yang tidak sedap dipandang, bentuk wajahnya tidak jelas, apalagi menarik kaum adam. Anak perempuan ini kemudian diberi nama Cantik.

700-cil2015
sumber: ekakurniawan.com

Berkunjung ke Halimunda mengingatkan saya pada desa di film-film Kabayan yang dibintangi almarhum Didi Petet. Hamparan sawah hijau, hutan belantara, bukit-bukit tinggi, dan pemandangan asri lainnya. Bedanya, Halimunda memiliki pantai.

Berlatar di zaman penjajahan Belanda dan Jepang, Cantik Itu Luka seperti hendak menghipnotis kita kembali ke masa penuh kepercayaan mistis. Sebuah kepercayaan yang kian memudar saat ini dengan maraknya kemajuan teknologi dan informasi. Ada banyak keanehan yang terjadi dalam kisah-kisahnya, yang seringkali tidak dapat dijelaskan melalui akal sehat. Akan tetapi, konflik yang menarik dan alur cerita yang apik menjadikan karya Eka Kurniawan ini sesuatu yang memukau bagi saya.

Karena latar tempat terjadi di satu desa saja, hampir setiap karakter memiliki hubungan atau pernah berinteraksi satu sama lain. Konflik yang diangkat juga menarik dan kompleks namun tetap bisa diikuti dengan baik. Inti alur cerita sebenarnya berada di silsilah keluarga. Dimana perbuatan masa lalu suatu keluarga dapat berdampak positif atau negatif bagi keturunannya kelak.

Cantik Itu Luka merupakan hiburan fiksi dalam negeri yang segar bagi saya. Seperti membaca dongeng untuk orang dewasa rasanya. Saya sangat berharap karya ini dapat diadaptasi ke dalam bentuk film, tapi kelihatannya belum ada tanda-tanda akan diwujudkan meskipun novel ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Jepang, dan Malaysia.

ISBN                      : 978-602-03-1258-3

Tahun Terbit      : 2002

Penerbit              : PT Gramedia Pustaka Utama

Penulis                 : Eka Kurniawan

Genre                   : Fiksi

Tebal                     : 479 halaman (paperback)

Pembatas buku : Tidak ada

Estimasi waktu

membaca            : 6 jam

Rating                   : 8.5/10

Resensi Buku: “Bilangan Fu”

“Tahukah engkau, sebelum nol disempurnakan oleh orang-orang Arab, ia memiliki asal sebuah tanda di India: tanda shunya.”

-Suhubudi, Bilangan Fu

Bagaimana kalau ternyata hal-hal berbau mitos itu sebenarnya bisa dijelaskan melalui fakta sejarah dan budaya? Atau paling tidak dicari hubungannya dengan rasio manusia modern. Bahwasanya mungkin ada penjelasan lain dibalik mitos-mitos tersebut jika kita membuka pikiran.

Jpeg

Diskusi demi diskusi dapat kita temukan dalam buku ini. Isu-isu yang diangkat sangat menarik. Mulai dari konservasi lingkungan, sejarah kerajaan Sunda dan Jawa, Nyi Roro Kidul, monoteisme, dan masih banyak lagi. Alur cerita tetap berjalan seiring dengan diskusi tersebut.

Bilangan Fu mengajak kita untuk berpikir terbuka dan lebih obyektif dalam menentukan apa yang kita lihat/dengar sebagai suatu kebenaran atau bukan. Tidak serta merta semua mitos itu bohong dan semua fakta itu benar adanya.

Berkisah tentang seorang pemanjat tebing bernama Yuda. Yuda kemudian bertemu dengan seorang pemanjat lain bernama Parang Jati. Sepintas tidak ada kepribadian yang menonjol dari mereka berdua, tapi saya kira mereka adalah pemikir ulung. Termasuk dari sinilah kita menyimak diskusi  mengenai topik-topik tersebut di atas. Terkadang saya merasa ini adalah sebuah skripsi atau karya ilmiah yang dibuat ke dalam bentuk novel. Sangat menghibur dan juga memberikan wawasan serta pandangan baru bagi pembacanya. Gaya peulisan Ayu Utami mengingatkan saya kepada Eka Kurniawan pada novelnya Cantik Itu Luka, namun Ayu Utami lebih menekankan sisi ilmiah dibanding fantasinya.

Salah satu contoh analogi yang ada di Bilangan Fu adalah ketika membahas ikonografi satria, atau kesatria, atau heroes. Dalam persepsi Amerika atau barat, satria digambarkan dengan otot-otot kekar seperti Superman, Batman, Rambo, dkk. Dalam pewayangan Jawa, tubuh satria digambarkan sebagai sosok yang ramping liat. Sama seperti pemanjat tebing, walaupun tidak memiliki dada yang mengkal, mereka tetap kuat, karena dada mengkal tidak dibutuhkan untuk memanjat. Dia cuma dibutuhkan untuk menarik wanita. Dari analogi ini kemudian berlanjut kepada pembahasan masuknya Islam ke dalam perwayangan Jawa dan bagaimana pengaruhnya terhadap penggambaran tokoh-tokoh yang ada di dalamnya.

Banyak lagi pesan kuat nan memukau lainnya. Bilangan Fu adalah komposisi cerdas yang memadukan antara filosofi, budaya, mistik, sejarah, sains, dan agama. Fu sendiri tentu saja memiliki arti dan akan dijelaskan di dalam karya Ayu Utami ini.

ISBN                      : 978-979-91-0122-8

Tahun Terbit      : 2008

Penerbit              : Kepustakaan Populer Gramedia

Penulis                 : Ayu Utami

Genre                   : Fiksi

Tebal                     : 536 halaman (paperback)

Pembatas buku : Tidak ada

Estimasi waktu

membaca            : 6 jam

Rating                   : 9/10

Resensi Buku: “How To Win Friends & Influence People”

Pengetahuan teknis memang penting untuk memimpin suatu tim. Akan tetapi, kemampuan untuk menghadapi, berinteraksi, dan berkolaborasi dengan orang lain adalah sesuatu yang wajib dimiliki oleh setiap pemimpin yang disegani. Disegani ya, bukan ditakuti.

Jpeg

Berbeda dengan pengetahuan teknis, kemampuan memimpin orang lain sangat minim diajarkan di sekolah-sekolah kita. Biasanya beberapa siswa mendapat pelajaran, atau lebih tepatnya pengalaman, ini dari kegiatan ekstrakurikuler. Tidak semua siswa berpartisipasi aktif dalam kegiatan ini kan?

Pun demikian dengan kondisi Amerika Serikat di tahun 1915, dimana kondisi perekonomian sedang jatuh dan pendidikan pun tidak jelas arahnya kemana. Bahwasanya sebagian besar orang memang punya keahlian teknis, akan tetapi tidak semua orang dapat menjadi pemimpin yang baik. Tidak semua orang bisa membuat orang lain mau melakukan apa yang diperintahkannya.

Dengan segala kesulitan tersebut, seorang pemuda yang berasal dari desa sederhana, sangat tertarik dengan seni berbicara di hadapan orang lain.  Awalnya, dia merasa sangat gugup ketika mengikuti lomba pidato di kampusnya, akan tetapi, lama kelamaan dia menjadi juara tidak hanya sekali, namun berkali-kali setelahnya dan berturut-turut pula. Kawan-kawannya memohon pada pemuda ini untuk diajarkan cara berbicara yang baik. Hal inilah yang menginspirasi Dale Carnegie, nama pemuda tersebut untuk memberikan pelatihan-pelatihan tentang bagaimana cara berbicara di hadapan orang lain dan cara menjadi pemimpin yang baik.

Mungkin terdengar klise ya. Sangat banyak iklan-iklan yang bermunculan dengan tema seperti ini. Akan tetapi, semua orang kala itu, yakin bahwa kelas/seminar Dale Carnegie berbeda dengan pembicara lainnya. Peserta yang hadir berasal dari berbagai kalangan. Tua, muda, amatir, profesional, pedagang roti, sampai eksekutif perusahaan. Semuanya tertarik mengikuti kelas Dale Carnegie karena dinilai simpel, cepat, dan sangat aplikatif dibandingkan dengan mempelajari psikologi manusia secara umum yang mungkin memerlukan waktu lama untuk dipelajari dan terlalu fundamental diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Di sela-sela kegiatannya sebagai pembicara dalam seminarnya ini, Dale Carnegie menerbitkan sebuah buku. How To Win Friends & Influence People. Bagaimana cara mendapatkan teman dan mempengaruhi orang lain. Mempengaruhi orang lain sama sekali bukan berarti memanipulasi atau menipu ya. Justru sebaliknya, kita berusaha untuk jujur kepada diri sendiri.

Salah satu  contoh kasus, ketika ada rekan kerja kita yang melakukan kesalahan, berkali-kali, yang membuat kita naik pitam, seringkali kita langsung melompat kepada inti permasalahan dengan cara mengkritik atau mengeluarkan kalimat yang tidak enak didengar. Kita seakan lupa akan kebaikan atau kelebihan rekan kita tersebut selama bekerja bersama. Lebih tepatnya kita memilih untuk melupakan kelebihannya dan berfokus pada kekurangannya saat itu. Ini namanya tidak jujur terhadap diri sendiri. Yang terjadi selanjutnya adalah adu mulut diantara kita dan rekan kerja kita sampai entah kapan. Manusia tidak tahan kritik, tidak bisa menerima kritik apalagi yang dibawakan dengan cara merendahkan seperti itu.

Salah satu instruksi Dale adalah, sebelum kita menyinggung kesalahan orang lain, sebaiknya kita awali dengan memuji kebaikannya. Intinya adalah menurunkan ego kita agar orang lain bisa mendengarkan kritik membangun yang akan kita sampaikan. Apakah ketika kita mengkritik pedas orang lain, dia akan melakukan apa yang kita inginkan? Kalau orang lain itu bawahan kita, bisa saja dia akan tetap melakukan pekerjaan yang diperintahkan. Tapi apakah dia akan melakukannya dengan senang hati? Tidak mungkin. Yang ada setelah itu malah terjadi pergunjingan di antara karyawan kita sendiri atau dia akan resign beberapa minggu kemudian.

Memang diperlukan latihan untuk bisa menurunkan ego tersebut. Begitupun dengan semua intruksi yang ada di buku ini. Tetapi jangan khawatir, instruksi yang diberikan cukup mudah untuk diikuti dan diterapkan dalam keseharian kita.

Buku ini terbagi atas empat bab. Masing-masing bab terdiri dari beberapa poin prinsip yang bisa kita latih. Mulai dari menghindari argumen (argumen ya, bukan diskusi), melemparkan senyum, cara menangani komplain pelanggan, cara memberikan perintah pada orang lain, dan masih banyak lagi. Dale Carnegie juga menuliskan pengalaman-pengalaman peserta seminarnya sebagai contoh kasus yang berhasil. Jadi dalam seminar ini setiap peserta diwajibkan untuk berbicara dalam batas waktu tertentu untuk menceritakan pengalamannya menerapkan prinsip yang diajarkan oleh Dale.

Harus diakui tidak semua orang dapat dipengarhuhi dengan cara seperti ini. Yah namanya orang, ada saja kelakuannya kan. Dale juga tidak menjanjikan keberhasilan 100%. Namun respon positif akan jauh lebih sering didapatkan jika kita menerapkan prinsip-prinsip tersebut.

ISBN                      : 978-1-4391-9919-0

Tahun Terbit      : 1936 (cetakan Pocket Books tahun 2010)

Penerbit              : Pocket Books

Penulis                 : Dale Carnegie

Genre                   : Nonfiksi, pengembangan diri

Tebal                     : 276 halaman (paperback)

Pembatas buku : Tidak ada

Estimasi waktu

membaca            : 4 jam

Rating                   : 9/10

Resensi Buku: “Sang Alkemis (The Alchemist)”

Novel yang sudah sangat populer yang membawa nama Paulo Coelho melejit. Namun demikian saya tetap tertarik untuk meresensi Sang Alkemis.

Jpeg

Berkisah tentang seorang anak laki-laki gembala bernama Santiago, yang kerap mengalami mimpi bahwa di Piramida-Piramida Mesir terdapat seonggok harta karun menunggu ditemukan olehnya. Dia kemudian berpetualang mencari harta karun tersebut.

Ide ceritanya boleh saja sederhana. Akan tetapi, Dalam perjalanannya ini banyak pelajaran yang dapat diambil dari kisah-kisah orang yang ditemui oleh si anak gembala. Serasa semua orang yang ditemuinya adalah filsuf haha. Tapi sepertinya memang demikian gaya bahasa yag dipakai oleh Paulo Coelho.

Saya membaca versi terjemahannya, yang menurut saya cukup enak dibaca. Mungkin memang cocok dengan versi aslinya. Berbeda dengan novel terjemahan yang berasal dari Bahasa Inggris pada umumnya, yang menjadikan bahasanya kaku. Diterjemahkan secara harfiah.

Buku ini sangat recommended. Berisi pelajaran hidup berharga serta untuk memberikan masukan dan perspektif mengenai pemikiran mendasar manusia, seperti tujuan hidup, cita-cita, dan ilmu tapi tentu saja tetap dibawakan dengan pengembangan plot yang menarik.

ISBN                      : 978-979-22-1664-6

Tahun Terbit      : 1988 (cetakan pertama PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2005)

Penerbit              : PT Gramedia Pustaka Utama

Penulis                 : Paulo Coelho

Genre                   : Fiksi

Tebal                     : 213 halaman (paperback)

Pembatas buku : Tidak ada

Estimasi waktu

membaca            : 3 jam

Rating                   : 8.5/10

Resensi Buku: “The 4-Hour Work Week”

Orang kaya baru atau OKB biasanya disematkan pada orang-orang yang baru saja mendapatkan kekayaan melimpah atau tiba-tiba punya banyak uang. Akan tetapi, Tim Ferris punya definisi sediri untuk orang kaya baru atau new rich. New rich disini lebih dekat definisinya kepada golongan orang kaya ‘modern’ atau yang mengadaptasi gaya hidup yang baru. Gaya hidup tersebut tidak serta merta menjadikan orang memiliki harta berlimpah dan tabungannya bengkak.

Jpeg

Menurut Tim, waktu lebih berharga daripada uang. Jadi sebagian kekayaan kita akan dihabiskan untuk meluangkan waktu kita, yang tadinya 40 jam seminggu untuk bekerja, menjadi 4 jam saja. Salah satunya dengan cara menyewa asisten pribadi. Di samping uang yang dihabiskan untuk ‘membeli’ waktu ini, kita juga harus memiliki pemasukan tambahan. Karena Tim menyarankan pada kita untuk selalu traveling. Ke luar negeri, tidak boleh ke luar kota saja. Juga kita harus melakukan aktivitas ketika traveling tersebut yang berkaitan dengan ciri khas dengan negara yang dituju.

The 4-Hour Work Week berisi panduan mendetail mengenai bagaimana cara menekan jam kerja kita sehingga kita dapat melakukan hal lain yang kita inginkan. Goal dari buku ini bukan untuk membuat pembacanya jadi sekaya Steve Jobs atau Elon Musk. Tim menggarisbawahi bahwa instruksi yang dia berikan adalah yang memberikan kita pemasukan secukupnya saja.

Untuk mencapai target tersebut, ada sebuah tabel bernama Dreamline. Tabel ini berfungsi untuk mengumpulkan 4 hal yang paling kita inginkan di dunia ini, mau itu barang, skill, ataupun melancong. Setelah itu kita melakukan estimasi biaya, misalkan biaya totalnya 250 juta rupiah. Nah angka ini bisa dibagi ke dalam 12 bulan misalkan. Jadi untuk mencapai target ini dalam setahun, kita butuh pemasukan sebesar Rp. 20.833.333 setiap bulannya. Waw sebuah angka yang fantastis ya. Tapi, jika dikonversi ke dalam dolar, dengan asumsi $1 = Rp.13.000, maka Rp. 20.8333.333 = $1.603 saja. Angka yang tidak begitu besar dimana gaji rata-rata di AS berada di atas $2.000 per bulannya. Jadi ditambah tips-tips untuk menambah pemasukan dari Tim, target ini sangat feasible. Ini memang berkaitan dengan purchasing power masyarakat USA yang jauh lebih besar dibandingkan kita. Tapi bukan berarti buku ini mejadi bias dan tidak cocok diterapkan di sini. Tips dan instruksi mengenai hal lain selain traveling masih bisa diterapkan. Karena biasanya yang membuat estimasi biaya membengkak adalah dari traveling ini. Selain itu, kebanyakan negara lain purchasing power-nya di bawah USA, jadi traveling bagi masyarakat di sana juga cukup terjangkau menurut saya.

Di dalam bukunya, Tim menjelaskan hal-hal kecil yang bisa kita lakukan untuk membuat kita menjadi manusia yang lebih efektif. Diantaranya dengan tidak membalas setiap email (karena kita tahu tidak semuanya penting), belajar menolak permintaan orang lain (yang kita tahu tidak penting juga), dan belajar lobbying bahkan membaca cepat. Intinya menurut Tim waktu kita sangat berharga dan sudah begitu banyak terbuang selama ini.

New York Times best seller ini wajib dimiliki meskipun menurut saya perlu ada sedikit adaptasi ke dalam kultur masyarakat Indonesia. Berguna sekali untuk mengukur target hidup dan mengkuantifikasikan target tersebut dalam satuan mata uang.

ISBN                      : 978-0-0919-2911-4

Tahun Terbit      : 2007

Penerbit              : Ebury Pubishing

Penulis                 : Timothy Ferris

Genre                   : Nonfiksi, bisnis, pengembangan diri

Tebal                     : 396 halaman (paperback)

Pembatas buku : Tidak ada

Estimasi waktu

membaca            : 7 jam

Rating                   : 8/10

Resensi Buku: “What Would Ben Stein Do?”

Ketika saya membeli buku ini, saya tidak menegenal siapa itu Ben Stein. Lho terus kenapa dibeli bukunya? Karena toko yang menjualnya sedang garage sale.

Jpeg

Ben Stein adalah seorang lulusan Yale University jurusan hokum. Dia adalah kolumnis The Wall Street Journal dan The New York Times, serta merupakan penulis naskah pidato Presiden Nixon dan Ford. Nah setelah membaca profil beliau ini, mungkin kita memang harus mendengarkan petuah-petuahnya.

Buku ini diawali dengan membahas pesan dalam memilih pasangan hidup, salah satunya adalah harus yang mau bekerja, baik pasangannya itu pria maupun wanita. Karena keinginan bekerja merupakan cerminan semangat hidup dan pencapaian.

Setelah itu, Ben membahas mengenai tabungan, dimana tabungan merupakan segalanya. Sebagai jarring pengaman ketika kita mengalami kejatuhan di dalam hidup. Menurut dia kejatuhan tersebut hampir pasti terjadi pada setiap orang, makanya kita perlu play it safe salah satunya dengan memiliki tabungan yang cukup. Tabungan tersebut tentu saja diperoleh dengan cara bekerja. Kerja, kerja, kerja!

Ada hal menarik yang diungkapkan dalam buku ini. Ben kenal dengan beberapa orang temannya yang merupakan pemimpi atau dreamer. Orang-orang dengan visi besar akan tetapi mereka tidak melakukan apapun demi mewujudkan mimpinya tersebut. Atau paling tidak Cuma berusaha seadanya. Nah mereka ini jadinya malah lebih sengsara dibandingkan dengan orang yang visi hidupnya biasa saja (cuma ingin punya rumah sederhana, keluarga kecil, dan mobil standar) dimana mereka dengan giat bekerja setiap hari dalam mewujudkan mimpi sederhananya tersebut. Sudut pandang yang realistis memang, tapi betul begitu adanya. Masalahnya bukan terletak pada visi yang besar ataupun kecil, tapi pada implementasi kerja yang diberikan terhadap visi tersebut.

Petuah penting lainnya adalah ‘teman’. Dengan menjaga hubungan pertemanan, semuanya bisa jadi lebih mudah. Relasi bisnis lebih luas serta membuka pintu rezeki lebih lebar.

Ben Stein memberikan petuah seputar karir, asmara, dan keuangan. Dibawakan dengan bahasa yang apa adanya. Sebagai generasi Baby Boomer yang mengalami masa the great depression, menurut saya menjadikan konten dalam buku ini menjadi sangat realis. Bahasa kasarnya mungkin cari aman. Berbeda dengan tren millennial sekarang ini yang seringkali bermain dengan resiko. Bukan berarti keduanya benar atau salah menurut saya. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Pesan yang disampaikan Ben Stein ada benarnya juga, kita harus siap dengan segala kemungkinan, karena perekonomian negara bisa mengalami krisis di waktu-waktu yang tidak terduga. Tetapi, kalau kita ingin melompat ke arah yang lebih baik, tidak ada salahnya sekali-sekali mengambil calculated risk.

 ISBN                     : 978-1-118-03817-8

Tahun Terbit      : 2011

Penerbit              : John Wiley & Sons, Inc.

Penulis                 : Ben Stein

Genre                   : Nonfiksi, pengembangan diri

Tebal                     : 210 halaman (paperback)

Pembatas buku : Tidak ada

Estimasi waktu

membaca            : 3 jam

Rating                   : 7/10

Resensi Buku: “Creativity, Inc.”

Give a good idea to a mediocre team, and they will screw it up. But give a mediocre idea to a great team, and they will either fix it or come up with something better.

-Ed Catmull

Di tahun 1970-an, industri perfilman nomor satu di dunia, Hollywood, belum menyadari bahwa perfilman dan teknologi jika disandingkan dapat menghasilkan sebuah karya yang luar biasa. Akan tetapi, seorang bernama George Lucas sudah menyadari hal ini dan dia sangat yakin penerapan teknologi pada film sangatlah penting dan merupakan masa depan dunia layar lebar. Maka terbentuklah Lucasfilm yang mengguncang dunia dengan Star Wars.

Jpeg

Dalam usahanya mewujudkan dunia luar angkasa yang spektakuler pada masanya tersebut, George Lucas membentuk sebuah divisi khusus yang menangani masalah integrasi teknologi komputer dengan film, termasuk di antaranya proses editing. Untuk menjalankan divisi tersebut, Geroge Lucas merekrut seorang lulusan ilmu komputer dari University of Utah. Lulusan tersebut bernama Ed Catmull. Mungkin tidak banyak yang tahu ketika kita disodorkan nama ini. Tapi siapa yang tidak tahu ketika disodorkan nama Pixar Animation? Nah divisi komputer di Lucasfilm yang dikepalai oleh Ed Catmull ini lah cikal bakal terbentuknya Pixar.

Anak generasi 90-an pasti tahu Toy Story dong. Nah Toy Story ini merupakan debut Pixar Animation di layar lebar dimana film tersebut menggunakan komputer sepenuhnya untuk proses animasi. Walaupun film ini didanai dan hak miliknya diambil oleh Disney, Toy Story sepenuhnya dibuat oleh Pixar. Mulai dari cerita, animasi, editing, dan lain sebagainya. Disney hanya mengawasi pekerjaan tersebut dan memberikan masukan-masukan.

Kemunculan Pixar Animation ke dalam dunia animasi, tidak terlepas dari jasa-jasa Steve Jobs. Ketika George Lucas berniat menjual Pixar Imaging Computer dikarenakan kondisi keuangan Lucasfilm yang sedang menurun, Steve Jobs berani berinvestasi untuk Pixar dan melepaskannya dari Lucasfilm. Pixar menjadi perusahaan independen. Ketertarikan Steve Jobs terhadap Pixar menurut saya bisa jadi dikarenakan kesamaan visi diantara keduanya, yaitu membuat produk yang fantastis, spektakuler, berbeda kelas dengan saingan-saingannya, serta inovatif. Kalau bahasa Steve Jobs-nya “Insanely great product”. Demikianlah Ed Catmull dan Steve Jobs berkolaborasi mewujudkan film-film Pixar. Peran Steve Jobs berada di luar perusahaan sebagai investor dan pelindung Pixar. Sedangakan Ed Catmull mengatur jalannya internal perusahaan.

Saya tidak mengira ternyata orang-orang paling berpengaruh itu sebagian besar berhubungan atau paling tidak pernah berinteraksi satu sama lain. George Lucas, Steve Jobs, Bill Gates, Steven Spielberg, Martin Scorcese, semuanya disebut dalam buku ini, walaupun yang dua terakhir hanya sekilas. Namun demikian, seperti ada lingkaran yang menghubungkan orang-orang hebat ini (termasuk Ed Catmull). Sepintas sebagian dari mereka terlihat bersaing dengan yang lain, tapi menurut saya persaingan sehat tersebut mendorong ke arah tujuan yang lebih baik, salah satunya dengan lahirnya Pixar.

Selanjutnya Pixar memproduksi film-film lainnya yang memorable, sangat berkesan, dan menyampaikan pesan positif bagi dunia. Diantaranya A Bug’s Life, Monsters, Inc., Wall-E, dan Toy Story 3 yang fenomenal itu. Hingga sekarang Pixar masih aktif memproduksi film animasi.

Creativity, Inc. membawa kita dalam petualangan Pixar menemukan jati dirinya. Ed Catmull menceritakan sejarah  dirinya yang bercita-cita ingin menjadi animator Disney, sekaligus menerapkan teknologi animasi komputer terhadap perfilman. Namun sayang, Disney waktu itu belum melihat peluang ini dan berpandangan bahwa komputer malah menyusahkan. Karena memang komputer di masa itu tidak secanggih hari ini.

Buku ini merupakan buku tentang pengembangan perusahaan, namun dibalut dengan kemasan biografi. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri karena instruksi yang diberikan tidak terkesan menggurui. Kita benar-benar belajar dari kesalahan dan kesuksesan Pixar, terutama di tahun-tahun awalnya. Creativity, Inc. adalah buku yang sangat menarik, inspiratif, serta menghibur. Jika Anda penasaran dengan sejarah Pixar, maka buku ini lah yang Anda cari.

ISBN                      : 978-0-553-84122-0

Tahun Terbit      : 2014

Penerbit              : Random House

Penulis                 : Ed Catmull & Amy Wallace

Genre                   : Nonfiksi, biografi, pengembangan diri

Tebal                     : 340 halaman (paperback)

Pembatas buku : Tidak ada

Estimasi waktu

membaca            : 5 jam

Rating                   : 9/10

Resensi Buku: “Elon Musk”

Dari usia 12 tahun Elon Musk sudah bisa membuat game berjudul The Blastar yang dimuat di salah satu majalah di Afrika Selatan. Seiring berjalannya waktu, dia pindah ke Canada kemudian ke Amerika, membawa mimpi kolonisasi Planet Mars serta membuat sistem transportasi di dunia jadi lebih baik. Maka terbentuklah dua perusahaan bernama SpaceX dan Tesla.

Jpeg

SpaceX merupakan perusahaan transportasi luar angkasa yang memiliki visi memulai kehidupan di Mars dan mewujudkan transportasi ke luar angkasa dengan harga murah namun kualitas terjaga. Jadi Elon Musk ini literally rocket scientist.

Sedangkan Tesla, adalah perusahaan yang mempoduksi mobil listrik. Harga bergantung kepada model mobilnya, ada Model T, Model S, Model X dan lain-lain.

Sebetulnya Elon Musk juga ikut andil dalam beberapa perusahaan lain. Ada SolarCity, Paypal, dan sebuah perusahaan startup yang memulai karirnya di bidang kewirausahaan yaitu Zip2, tapi sekarang dengan semakin canggihnya Google saya kira perusahaan ini sudah tutup.

Saat ini Elon Musk juga sedang mengembangkan moda transportasi baru bernama Hyperloop. Kalau dilihat-lihat bentuknya seperti moda transportasi di film-film sci-fi.

Perjalanan membentuk perusahaan-perusahaan tadi tidaklah mudah. Banyak lika-liku dan naik-turun bukitnya. Tapi sebaiknya And abaca sendiri detilnya karena saya tidak akan bahas disini. Saya hanya akan menyinggung sedikit tentang masa kecil Musk.

Musk adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Adik laki-laki pertamanya bernama Kimbal dan adik perempuan bungsunya bernama Tosca. Merka lahir dan menghabiskan masa kecilnya di Afrika Selatan. Ayahnya, Errol Musk, adalah seorang engineer sedangkan Maye Musk, ibunya, adalah seorang model yang menyukai sains dan matematik.

Musk kecil sangat-sangat senang membaca. Dia punya eidetic memory atau istilah umumnya photographic memory. Setelah pulang sekolah sekitar pukul 2 siang, dia pergi ke perpustakaan untuk melanjutkan membaca hingga pukul 6 sore. Setelah itu dia pulang ke rumah dan melanjutkan membaca fiksi atau komik. Terlihat dari kesehariannya, dia bukan merupakan anak yang memiliki banyak teman. Memang betul, seringkali dia harus berhadapan dengan bullying teman-teman di sekolahnya. Berbeda dengan Steve Jobs yang malah sering mengerjai orang lain ketika dia remaja.

Kira-kira seperti itulah masa kecil Musk secara garis besar. Jangan khawatir spoiler, masih banyak hal lain yang terjadi pada masa kecil Elon.

Ashlee Vance, penulis biografi ini menceritakan dengan gaya lugas. Elon Musk bukan malaikat. Dia punya kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan ini tetap dibeberkan penulis dengan jelas dengan cara mewawancarai pihak-pihak yang berhubungan atau telah berhubungan dengan Elon. Banyak inspirasi yang bisa dirasakan dari kelebihan-kelebihannya, dan banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kekurangannya. Yang pasti, secara keseluruhan saya sangat menikmati membaca buku ini dan akan membacanya lagi untuk yang ke dua kali.

ISBN                      : 978-0-75355-564-4

Tahun Terbit      : 2015

Penerbit              : Virgin Books

Penulis                 : Ashlee Vance

Genre                   : Nonfiksi, biografi

Tebal                     : 392 halaman (paperback)

Pembatas buku : Tidak ada

Estimasi waktu

membaca            : 5 jam

Rating                   : 8.5/10

Resensi Buku: “Sherlock Holmes: The Complete Novels and Stories”

“Once you eliminate the impossible, whatever remains, however improbable, must be the truth.”

-Sherlock Holmes

Begitulah salah satu quotes terkenal dari detektif nomor satu dunia ini. Dunianya fiktif tentu saja.

Pertama kali saya benar-benar menyimak cerita Sherlock Holmes adalah dari film layar lebar pada tahun 2009 dengan judul Sherlock Holmes yang disutradarai oleh Guy Ritchie. Sebelum-sebelumnya saya hanya tahu dari referensi-referensi yang banyak dipakai di film lain atau anime. Tapi kemudian Mark Gatiss dan Steven Moffats menculik Sherlock dan Watson ke masa depan. Serial berjudul Sherlock ini merupakan adaptasi dari novel dan cerita-cerita karya Arthur Conan Doyle, penulis Sherlock Holmes yang aseli. Jadilah saya menonton serial Sherlock dan sangat menyukai acara ini. Pada akhirnya saya jadi penasaran, bagaimana sih novelnya? Akhirnya saya berburu buku dari penerbit Bantam Classic yang hingga sekarang masih menerbitkan buku Sherlock Holmes.

Jpeg

Buku ini terdiri dari novel-novel serta cerita pendek karya Conan Doyle. Karya beliau yang pertama adalah A Study in Scarlet yang diterbitkan di majalah Beeton’s Christmas Annual pada tahun 1887.

Saya sendiri perlu penyesuaian lagi ketika pertama kali membaca buku ini, pasalnya Bahasa Inggris yang digunakan sangat jadul. Banyak istilah-istilah baru yang harus dipelajari lagi. Namun di zaman serba digital seperti sekarang ini, kesulitan tersebut dapat ditangani dengan cepat.

Bagi yang sudah menonton serial Sherlock, mungkin akan terasa berbeda ketika membaca bukunya. Disebabkan acara ini merupakan adaptasi, banyak elemen-elemen yang dirubah. Salah satunya judul. Dalam Sherlock judul episode pertama adalah A Study in Pink, dalam novelnya A Study in Scarlet. Begitu juga dengan A Scandal in Belgravia, di novelnya adalah A Scandal in Bohemia. Kasusnya pun berbeda. Yang saya lihat, Mark Gatiss hanya menyisipkan kisah-kisah di novel sebagai cameo.

Dari segi karakter, novelnya ternyata juga memiliki perbedaan. Dalam novelnya Sherlock Holmes sama-sama jenius tapi disini digambarkan bahwa dia tidak semenyebalkan dibanding yang di serial. Dia adalah orang yang sopan terhadap kliennya dan selalu mendengarkan keluhan mereka. Begitu juga dengan Watson. Di novelnya dia lebih bersifat penurut dan jarang sekali ada konflik dengan teman sekamarnya itu.

Namun demikian kasus-kasus yang diceritakan pada buku ini tetap menarik untuk disimak, beberapa kasus cenderung beraura horor tapi pada akhirnya semua bisa dijelaskan dengan logika Sherlock. Sebaiknya buang jauh-jauh dulu image Sherlock dan Watson yang ada di BBC sebelum membaca buku ini, karena isinya benar-benar berbeda.

ISBN                      : 0-553-21241-9 (Vol. 1) 0-553-21242-7 (Vol 2)

Tahun Terbit      : 1887-1903 (Cetak ulang Bantam Classic tahun 2003)

Penerbit              : Bantam Classic

Penulis                 : Sir Arthur Conan Doyle

Genre                   : Fiksi, kriminal

Tebal                     : 1.796 halaman (paperback)

Pembatas buku : Tidak ada

Estimasi waktu

membaca            : 15 jam

Rating                   : 7.5/10